Rabu, 26 Agustus 2009

ilustrasi

ILUSTRASI
Disaat belahan dunia lain berlomba-lomba menangguk keuntungan dari industri sepakbola, kita di Indonesia masih dihadapkan dengan masalah kurangnya bibit pemain handal di masa depan. Prestasi Tim Nasional kita yang dulunya sangat ditakuti untuk kawasan Asia, sekarang untuk kawasan Asia Tenggara saja kita sudah berada di peringat ketiga/keempat setelah Thailand, Singapura dan Vietnam. Semua itu tidak terlepas dari sistem pembinaan usia dini yang ada di Indonesia.

Keberadaan Arsenal Football School Di Tangerang, dan Real Madrid Football School Rencana Di Pulau Bali tidak akan berbuat banyak untuk perkembangan sepakbola masa depan yang terpadu. Ketiga Football School itu hanya pengembangan sayap bisnis mereka saja dan tidak ada hubungannya dengan pembangunan sepakbola Indonesia masa depan. Yang ada hanya pencetak pemain yang syukur-syukur digunakan oleh Arsenal dan Real Madrid.

Secara teori, sistem pembinaan yang paling baik itu adalah Kompetisi. Sekarang coba kita liat, apakah ada kompetisi di Indonesia. Jika Indonesia terlalu besar, kita perkecil ke tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Apakah kita punya kompetisi yang permanen, lancar, kompetitif dan teratur? Belum lagi kalau ditanyakan apakah ada kompetisi dari kelompok umur paling bawah misalnya dari usia 12 tahun. Jawabannya adalah AMAT SANGAT TIDAK ADA. Dengan jawaban itu kapan kita bisa berharap akan muncul sepakbola dan pemain sepakbola yang handal? Yang terlihat hanyalah sistem yang instant dan biaya besar seperti tim U17 di Uruguay sekarang, yang hanya mengulangi kesalahan dari PSSI Pratama, Garuda I, Garuda II, Primavera dan Baretti.

Memang ada Danone dan lain-lain membuat turnamen kelompok umur, tapi itu sifatnya temporer dan hura-hura saja. Tidak ada kontribusinya untuk kemajuan sepakbola di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa Danone sudah berkiprah dari tahun 2002, berarti sekarang sudah 6 tahun. Artinya juga, jika hasil Danone itu bagus, Tim Indonesia Usia 16 s/d 18 tidak akan jadi bulan-bulanan negara lain dalam turnamen resmi.

Dengan tidak adanya kompetisi yang rutin, ketat dan teratur dari Umur 12 tahun, bagaimana kita bisa memberikan pengalaman tanding secara resmi kepada calon-calon pemain masa depan. Seorang pemain atau calon pemain masa depan itu punya standar minimal kuantitas mereka bertanding resmi secara teratur dan terjadwal.

Contohnya, pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah berapa kali Bambang Pamungkas bermain dalam pertandingan resmi dari usia 12 tahun. Belum lagi pertanyaannya berapa gol yang sudah diciptakan, asist yang pernah diberikan, kartu kuning atau kartu merah yang didapat. Dengan tidak ada data itu bagaimana kita bisa menjual pemain keluar negeri? Wajar sekali kalau pemain kita tidak punya nilai jual di luarnegeri, selain karena memang secara kualitas tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan dari paparan diatas adalah : yang dibutuhkan saat ini adalah adanya Kompetisi kelompok umur dari 12 tahun sampai 18 tahun. Mungkin cukup di bagi tiga kelompok umur saja yang memang selama ini sudah ada, yaitu U12, U15 dan U17. Tidak perlu scopenya terlalu besar untuk seluruh Indonesia, dimulai dulu misalnya di DKI Jakarta atau Jabotabek. Dibuat Kompetisi antar SSB yang ada di Jabotabek dengan Kompetisi yang teratur, permanen dan jangka panjang. Bukan turnamen yang 15 hari habis, tapi betul-betul kompetisi yang selesai dalam 1 tahun.

Kemudian dari kompetisi itu direkam database masing-masing anak-anak calon pemain masa depan itu. Sehingga waktu mereka sudah dewasa, mereka punya track record yang bisa digunakan secara profesional.

Jika cara ini dilakukan akan mengatasi beberapa kendala selama ini ada yaitu :
1. Pemain Indonesia masa depan akan lahir dari kompetisi yang ketat, bukan pemain yang instant.

2. Pemilihan pemain nasional akan lebih fair karena dipilih dari hasil kompetisi dan publik melihatnya. Tidak asal comot berdasarkan rekomendasi dari sana-sini.
3. Pemain yg lahir akan merupakan pilihan terbaik termasuk dari segi mental dan kelakuan. Karena persaingan yang ketat, maka mereka tidak manja dan bertingkah yang aneh-aneh seperti sekarang.

4. Akan ada data pemain yang akurat yang ini bisa dimanfaatkan oleh klub-klub profesional untuk merekrut pemain dan juga berguna bagi jurnalist untuk memperkaya liputan.
5. Dengan kompetisi ini, selain melahirkan pemain, juga pendukung lainnya akan menjadi terasah kemampuannya, yakni para wasit dan pelatih. Wasit punya banyak jam terbang memimpin sehingga dari Kompetisi kelompok umur/usia muda ini akan muncul wasit-wasit yang baik untuk Liga profesional. Begitu juga dengan pelatih. Akan muncul pelatih yang berpengalaman bukan pelatih yang karbitan yang terpilih hanya karena kedekatan dengan Pengurus.

6. Keterlibatan sponsor akan lebih solit karena ada kepastian produk mereka akan sukses dengan mensponsori kompetisi.

7. Pemborosan dana yang dilakukan selama ini dengan mengirim tim keluar negeri dapat ditekan, dan uang yang beredar hanya di dalam negeri. Ini juga berguna untuk ketahanan perekonomian nasional.

8. Suistainability dari pembinaan akan terjaga. Setiap tahun kita pasti akan melahirkan pemain dari semua kelompok Umur dan juga untuk pemain Senior di atas 18 Tahun.

9. Kita akan menghasilkan ratusan bahkan ribuan pemain potensial, dari ribuan itu, tersaring lagi ratusan yang benar-benar siap pakai yang bisa langsung dimanfaatkan oleh Tim/klub di Liga Indonesia bahkan di Liga-liga negara tetangga.

Untuk konsep Kompetisi ini sendiri sudah ada, dan terbuka untuk didiskusikan. Jika ada pencinta sepakbola yang peduli dengan sepakbola Indonesia masa depan, kita bisa memulainya, dan setelah 2 kali Olimpiade ke depan, kita sudah punya Timnas U23 yang bisa diandalkan yang pemainnya sudah ditempa selama lebih dari 8 tahun berkompetisi yang ketat.

Jika ini tidak berhasil juga, berarti Teori yang mengatakan bahwa Kompetisi adalah sistem pembinaan yang paling sempurna, patut dipertanyakan.

Untuk sementara kita kesampingkan lah dulu PSSI Pusat. Karena gerakan ini harus muncul dari bawah. Dari tingkat dasar yaitu Klub/Sekolah Sepak Bola (SSB) sendiri. Selama ini kita terlena dengan bentuk yang sentralistik dan patronist. Padahal sentralistik dan patronist itu hanya milik militer. Dunia olahraga dan dunia militer adalah dua hal yang bertolak belakang.

Kita coba berkaca dari kondisi riil yang ada dalam dunia sepakbola yunior saat ini. Pembinaan Yunior lebih terpusat kepada SSB. Sementara SSB sendiri terpinggirkan dalam statuta PSSI. Untuk itu ada celah bagi SSB-SSB sendiri untuk berkumpul membentuk wadah mereka sendiri. PSSI tinggal mengambil manfaatnya saja. Ini sebenarnya untuk mengurangi beban PSSI yang sudah disibukkan dengan persoalan Cek Kosong dan persoalan mempertahankan Ketua Umumnya.

Para penggiat SSB itu adalah potensi besar dalam pengembangan sepakbola masa depan. Saat ini saja dengan tanpa perhatian dari PSSI, mereka dengan dedikasinya mau mengurus SSB mereka. Kekuatan ini yang harus dimanfaatkan untuk sebuah REVOLUSI SEPAKBOLA INDONESIA
Memang perlu proyek percontohan yang scopenya regional dulu...untuk kompetisi kelompok U12, U15. Proyek percontohan inilah yang harus digarap serius. Bila perlu Pengda PSSI Provinsi melemparkan proyek ini ke swasta untuk mengelola nya...ga usah sentralistik ke PSSI Pusat...
Bisa dua kemungkinan yang bisa dipakai :
1. Pengda PSSI yang menggelarnya dengan menggandeng swasta
2. Para SSB sekawasan berkumpul dan membuat wadah bersama.

Memang idealnya PSSI yang melakukan. Namun dengan melihat kondisi riil yang ada, agak mustahil PSSI akan melakukannya. Kalau memang PSSI itu bisa melakukan, barangkali thread ini tidak perlu ada. Karena PSSI sudah bisa melakukan sendiri. Namun karena tidak ada pemikiran orang-orang PSSI ke arah itu, makanya perlu alternatif.

Di Tangerang adalah mengumpulkan SSB yang ada di Tangerang untuk membentuk wadah sendiri, dan wadah ini yang menggelarnya. Ini dilakukan karena ajaran salah satu agama bawah nasib suatu bangsa/kelompok tidak akan berubah kalau tidak bangsa/kelompok itu sendiri yang merubahnya. Artinya kalau SSB mau berubah dan diakui keberadaannya, maka SSB sendiri yang merubahnya.

Dengan kondisi demikian PSSI tinggal terima jadi saja. Logikanya jika ada orang yang meringankan pekerjaan seseorang masak tidak mau. Tapi memang disadari banyak yang aneh dalam kehidupan sepakbola kita. Namun kita harus mencobanya.

Sebenarnya tinggal merubah visi para sponsor saja. Kalau pemahaman ini diberikan kepada sponsor, PSSI tinggal terima saja.
Pendekatan region atau provinsi cukup tepat dan realistis. Misalnya :

1. Region Jabotabek untuk SSB disekitar Jabotabek
2. Region Priangan untuk SSB sekitar Bandung, Cimahi, Garut dan Tasik

3. Region Banten untuk SSB sekitar Cilegon Lebak.

4. Region Yogya u/ SSB di Yogya

5. Region Semarang u/ SSB di sekitar Semarang, Jepara, Kudus

6. Region Solo u/ SSB sekitar Salatiga, Solo, Klaten

7. Region Surabaya u/SSB sekitar Tuban, gresik, surabaya, Sidoarjo

8. Region Tapal Kuda u/ SSB sekitar Malang, Pasuruan, Madiun, Kediri
begitu juga untuk region-region di daerah lain, ada yang di Ibu kota provinsi, tapi bisa juga yang sekawasan.

Jika ini berjalan dan kuncinya data base pemain ini dipegang oleh satu lembaga yang terpusat, maka kita akan punya data base ribuan pemain, dan itu terupdate terus. Sehingga kasus pencurian umur bisa ditekan.

Semoga. Sepertinya usul liga (baca:kompetisi) regional menarik untuk diwujudkan. Ditambah jenjang umur tertentu, pasti mantap. Mulai dari skala kota, regional (beberapa kota terdekat), propinsi, baru nasional. Ya persis seperti seleksi atlit2 kita pada kebanyakan. Ujung-ujungnya, nanti kita akan punya juara nasional teruji dari skala umur berbeda. Jadi pas ada kejuaraan usia 21 (misalnya) kita ga perlu kelimpungan comot sana sini. Pun begitu dengan skala umur yang lebih muda dan tua. Cara itu akan lebih memudahkan pemantauan bakat2 yg kita miliki.

Untuk sponsorship, ya bisa digandeng pelaku bisnis daerah masing2 (sebagai contoh Arema yg disponsori Bentoel yg juga ada di Malang). Dengan begitu kan citra perusahaan sponsor lebih baik dan sepakbola juga bisa jalan. Begitu seterusnya sampai skala nasional.

Bila ada dana tidak usah bikin pertandingan persahabatan sampai keluar negeri segala. Benahi dulu infrastruktur yg ada. Ibaratnya, sekolah ke luar negeri dapat ilmu plus fasilitas tinggi, pas balik kampung, mau aplikasi ilmu agak terhambat karena fasilitas tidak memadai.

Didaerah itu sendiri yang ada selama ini adalah Turnamen-turnamen "dalam rangka". misalnya Dalam Dangka HUT RI, Dalam Rangka HUT Kota, Dalam Rangka Pilkada. Tapi tidak ada yang benar-benar terprogram tanpa terikat dengan dalam rangka-dalam rangka tadi.

Jika ditanya di daerah itu SSB mana yang paling bagus di daerah itu, parameternya tidak jelas. Karena tidak ada ajang yang bisa mengatakan hal itu. Misalnya di Turnamen yang diadakan oleh SSB Harimau, Juaranya SSB Harimau, kemudian SSB Macan tidak terima bikin lagi turnamen, dan Juaranya SSB Macan. Kadang kala turnamen yang diadakan itu sengaja didisain untuk SSBnya juara. Itulah kondisi Riil di daerah. Atau ada daerah yang hanya ada Turnamen pas 17 Agustusan, mereka bertanding dengan sistem gugur paling banyak mereka bertanding sebanyak 6 kali, langsung Juara. ini berlangsung selama 2-3 minggu, setelah itu 11 bulan lagi nganggur tidak ada pertandingan, yang ada hanya uji coba, wasitnya tidak jelas dan motivasinya tidak jelas. Bisa ditebak apa yang bisa diambil dari pembinaan semacam itu. Belum lagi turnamen itu menggunakan sistem gugur atau turnamen yang sistem pool. Tentu atmosfir tekanan jadi tidak baik untuk pembinaan. Tidak ada ruang untuk evaluasi anak-anak. Tidak ada ruang untuk melakukan bongkar-pasang tim.

Hal tentang uang dan kekerabatan, atau dan hal-hal lain itu adalah akibat tidak adanya kompetisi yang benar seperti liga, sehingga aturan antar SSB itu tidak ada. Akhirnya akan terjadi hukum Rimba antar SSB. Dan itulah yang terjadi di Bandung. SSB A misalnya apalagi didukung oleh dana yang kuat dan kebetulan pelatihnya adalah mantan pemain nasional akan bersikap seperti raja hutan yang mengambil pemain-pemain dari SSB lain dan sering kali mereka mengklaim bahwa anak didiknya adalah yang terbaik. Pada saat seleksi-seleksi yang diadakan baik oleh Pengcab, Pengda atau Timnas, mereka memonopoli pemilihan. Padahal masih ada pemain berbakat lainnya di SSB lain.

Jika ada kompetisi yang permanen berbentuk Liga, aturan pasti akan dibikin. Lembaga adalah sebuah kebutuhan. Data pemain akan dibuat dan menjadi acuan dalam pemilihan-pemilihan. Perpindahan pemain akan tertata dengan baik. Dan hasil dilapangan lah yang mengatakan SSB A yang terbaik, pelatih AA lah yang paling bagus. Dan banyak lagi benefit yang akan didapat.

Kompetisi akan membuat posisi seluruh SSB sama dan yang menentukan mereka adalah kemampuan di Lapangan.
Piala Suratin belum menjawab permasalahan. Dari rekruitmen pemain untuk masuk ke Tim Suratin itu sudah bermasalah. Belum lagi proses Kompetisi Suratin itu. Kemudian, biaya yang dikeluarkan oleh tim yang ikut Piala Suratin itu tidak sebanding dengan hasil yang dicapai. Tidak ada data yang rapi tentang record pemain yang ikut. Sehingga sering kali terjadi Pencurian Umur.

Makanya, Konsep yang ditawarkan adalah Kompetisi yang tersistem dari U12, U15, dan U18. Sehingga pembinaan tidak terputus.



Ketika satu tim bermain di tingkat nasional, Kompetisi lokal tidak berhenti. Selama ini yang terjadi adalah Kompetisi seperti Suratin itu berjalan Serial. Sehingga ketika tim bermain untuk babak yang lebih tinggi, tim yang sudah kalah langsung tidur, dan tidak latihan lagi.

Dengan membuat kompetisi yang rapi di level Yunior (dibawah 18 tahun), Klub-klub tidak perlu susah-susah lagi membina pemain yunior. Mereka cukup fokus ke Pemain profesional senior setelah umur 18 tahun. Yang dibawah 18 cukup dibina oleh SSB. Toh selama ini tim Suratin atau Yunior itu diambilnya juga dari SSB.

Memang dalam melakukan perubahan, sebaiknya konsep yang kita tawarkan itu sudah cukup matang, sehingga jika diimplementasikan hanya mengalami penyesuaian sedikit disana-sini. Dari pada konsep masih sangat mentah, langsung diimplementasikan, akhirnya try and errornya menjadi panjang dan kita semakin ketinggalan. Sebuah konsep yang matang, itu harus memuat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, dan sudah merancang solusi yang akan diambil jika kemungkinan itu terjadi. Namun yang harus tetap dipegang teguh adalah, filosofi dan pilar besar dari konsep itu sudah kokoh dan tidak bisa dirubah-rubah lagi.

1 komentar:

  1. bagus sekali idenya.. saya sangat mendukung ide ini.. anda nampaknya sangat concern dan menghayati akan apa yang terjadi di tataran teknis operasional .. sy juga mengingatkan perlunya pembinaan model akedemi/diklat terpadu.. bukan hanya di satu tempat seperti di ragunan.. bagaimana pssi atau pemerintah juga bisa memfasilitasi ssb untuk bekerjasama dengan perusahaan2 besar yang concern dgn pembinaan usia muda.. yang tentunya harus dilihat sebagai penyiapan generasi muda Indonesia yang sportif dan sehat sebagai modal sumber daya insani bangsa maju.. pembinaan melalui diklat yang komprehensif ditambah kompetisi yang berjenjang berkesinambungan akan menghasilkan pemain pemain yang tangguh... bukan sekedar bisa bermain dan berkompetisi.. gizi, wawasan, tehnik spartan harus berjalan terpadu dalam suasana kompetisi.. pembinaan model pemilihan melalu turnamen, ikut pertandingan kemudian bubar jalan sudah semestinya ditinggalkan.. sekali lagi terima kasih untuk masukan anda yang sangat tajam dan jeli ini..

    BalasHapus

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
saya dulu kuliah di Penutradaraan film (IKJ), administrasi negara. lepas kuliah kerja jadi asisten sutradara, unit manager, manager produksi, sutradara sinetron misteri.Buat SSB FC Faste Academy, Medco, Suratin, Divisi 3 PS Kepulauan Seribu Pengda PSSI DKI Jaya.